Selasa, 27 Desember 2011

Mon Coeur

Oleh : Apri Munganti


il y a une chose qui manque avant ton départ
par ici, au mon coeur
si tu m'aimes, dis-moi!

dans le monde il y a les gens
entre les gens il y a moi
dans mon corps il y a mon coeur
dans mon coeur il y a toi

Selasa, 11 Januari 2011

Cerpen
BUAIAN TERTUNDA

Oleh : Apri Munganti

Awan itu berwarna putih, memantulkan cahaya dari sang mentari yang sinarnya merajai bumi. Awan itu berarak dari ujung cakrawala ke ujung lainnya, seputih salju, selembut kapas, elok. Seolah mengharuskan sepasang bola mata ini untuk melihatnya. Tapi tak kuasa karena sang mentari ingin sekali menghancurkan kedua mataku.

Sengatan sang raja siang itu membuat kulitku terbakar, meskipun jauhnya jutaan kilometer. Pandanganku tertuju pada seorang pemuda cilik yang sedang kesulitan membawa barang-barang yang dibeli orang di pasar. Sebenarnya aku ingin menyuruhnya pula membawa barang yang telah ku beli dari toko Pak Ajis, tapi ku rasa anak kecil itu tak akan mampu membawa barang yang berada di tanganku ini. Aku urungkan niatku untuk memanggil anak kecil itu.

Di tangan kiriku tergantung sekeresek belanjaan yang beratnya sekitar 5 kilogram, tak banyak, isinya hanya minyak goreng, wortel, kol, daging ayam dan sedikit bumbu dapur. Sedangkan tangan kananku membawa keranjang yang isinya beras dan beberapa ikat tumbuhan kangkung. Aku berjalan dengan tergesa-gesa karena jam di tangan kiriku telah menunjukkan angka pukul 10 am. Sebentar lagi Bu Mirna pulang dari TK Al-Hasan menjemput anaknya.

Di depan sebuah toko ku lihat ada beberapa tukang becak yang sedang asyik berbincang-bincang dengan tukang becak yang lainnya sambil menunggu orang yang akan menaiki becaknya, aku melambaikan tanganku kepada para tukang becak itu, tetapi tak ada satupun yang melihatku. Anak kecil yang tadi ku lihat menghampiriku, ia menawarkan diri untuk membawakan barang yang ku bawa, aku serahkan barang yang ku bawa dari tangan kiriku kepada anak kecil itu dan ia mengantarkanku menuju para tukang becak yang akan membawaku pulang.

Ia berjalan di depanku, kakinya tak beralaskan sandal, pakaiannya kumal, sepertinya sudah beberapa hari ia tak mandi. Rambutnya berwarna merah membara sebab ia selalu berada di bawah terik matahari. Aku sering melihatnya di pasar tradisional ini, pernah suatu ketika aku melihatnya tidur dengan hanya beralaskan tikar tua di depan toko Pak Ajis di malam hari, ia tak memakai selimut sehelaipun, aku ingin sekali menyelimuti tubuh mungilnya yang tak pantas menerima sapaan dari angin malam itu, tapi tak sempat.

“Au…, sakit sekali” teriakkannya memecahkan lamunanku, kaki kirinya Ia angkat ke atas layakya anak-anak yang sedang bermain sondah. Ku lihat ada tetesan darah dari jejak kakinya. Ia menghentikan langkahnya, menyimpan keresek yang dibawanya dariku di tanah dan memeriksa luka menganga di kakinya.

“kakimu berdarah, ayo ikut ke rumah majikanku, biar aku obati luka di kakimu itu” aku berjongkok di depannya yang sedang duduk di tanah.
Aku memanggil tukang becak yang jaraknya hanya beberapa meter lagi di depanku. Tukang becak itu menghampiriku dan membawa barang belanjaanku, sedangkan aku memapah anak kecil dengan luka menganga di kakinya itu.
***

Tak lebih dari 10 menit, aku dan anak kecil yang ku papah tadi telah sampai di rumah majikanku. Aku mempersilahkan anak itu masuk ke dalam rumah yang luasnya dapat menampung ratusan orang.
“siapa namamu?” tanyaku, aku tak mengetahui namanya, yang ku dengar orang-orang di pasar sering memanggilnya CIL karena perawakannya yang kecil.
“nama saya Sandi bu” jawab anak itu dengan terbata-bata. Sebuah nama yang akrab di telingaku.

“tunggu sebentar ya! Ibu ambilkan air dan obat untuk membersihkan luka di kakimu” Sandi mengangguk, aku beranjak dari tempat dudukku dan mengambil air ke dapur kemudian ku ambil kotak P3K yang berada dekat pintu dapur.
Aku kembali menuju ruang tamu dan membersihkan luka di kaki Sandi, ia bercerita tetang kehidupannya. Malang benar nasib anak itu, ia tak mempunyai keluarga, ia tinggal sebatang kara di tengah keramaian kota dan hidup dengan mengandalkan pemberian orang dari jasanya membantu mengangkat barang atau membersihkan sampah. Dulu ia sempat tinggal di sebuah panti asuhan dan sempat diadopsi oleh satu keluarga, tetapi sebenarnya bukan sebuah keluarga yang mengadopsinya, melainkan preman-preman yang mencari anak kecil untuk disuruh meminta-minta. Sandi sempat dibawa ke ibu kota, ia tak mau diperlakukan seolah pengemis, dalam hidupnya ia pantang untuk meminta-minta. Maka ia melarikan diri dari jeratan preman-preman yang mengadopsinya dan pergi menggunakan kereta api. Ia tak peduli kemana kereta api membawanya, yang ia pedulikan hanyalah kebebasan dari para preman yang mempekerjakannya sebagai seorang peminta-minta.

“panti asuhan kamu berada di daerah mana?” tanyaku penasaran, entah mengapa pertanyaan itu terlontar dari bibirku tanpa pertimbangan.
“saya tidak tahu persis panti itu berada di mana, tapi saya selalu mendengar orang-orang menyebutnya panti Malang” jawabnya. Panti Malang? Berarti letaknya di kota Malang, pikirku.
Malang adalah kota kelahiranku, aku dibesarkan oleh ibu di kota apel itu. Tak pernah terbersit dalam benakku berbincang-bincang dengan anak kecil yang kehidupannya malang seperti nama kota asalku itu.
***

Bel berbunyi, “pasti itu bu Mirna dan Rizal” taksirku.
Dan benar, saat ku bukakan pintu, yang berada dihadapanku itu adalah bu Mirna yang habis menjemput anaknya yang bernama Rizal.
Astaga, aku lupa memasak daging yang tadi ku beli di pasar, aku keasyikan mengobrol dengan Sandi. Aku ceritakan kejadian yang menimpa Sandi di pasar kepada bu Mirna. Rizal segera berlari menuju kamarnya tanpa melihat Sandi yang sedang duduk di ruang tamu. Sambil berjalan menuju kursi yang berada di ruang tamu, ku ceritakan kisah hidup sandi dan perjuangannya mencari makan. Bu Mirna merasa iba, air matanya hampir meleleh di pipinya, tapi air mata itu terbendung. Aku meminta bu Mirna untuk mengijinkan Sandi tinggal di rumah ini “biar dia tidur di kamar saya saja, bu” bujukku.
Bu Mirna mengijinkan Sandi untuk tinggal di rumahnya sementara dan ia memberikan Sandi pakaian yang tak terpakai lagi oleh Rizal yang masih layak pakai. Badan Sandi dan Rizal hampir sama besar. Tapi umurnya berbeda. Sandi berusia 8 tahun, sedangkan Rizal berusia 5 tahun.

Ku suruh Sandi untuk mandi dan mengganti pakaiannya, ia menolak. Kemudian aku jelaskan kepadanya bahwa bu Mirna mengizinkannya tinggal di rumah ini. Sandi menurut dan mengucapkan terimakasih berulang kali kepada bu Mirna dan aku.
Rizal keluar dari kamarnya.
“bi, kakak yang tadi siapa namanya” Tanya Rizal.
“oh, itu namanya kak Sandi, kak Sandi akan jadi teman Rizal nanti” jawabku.
Ku lihat Sandi telah selesai membersihkan badannya, Rizal menghampiri Sandi dan mengajaknya bermain bola di taman depan rumah.

Sore hari aku menyiram tanaman yang berada di pekarangan rumah bu Mirna, sebuah kegiatan yang sering ku lakukan setiap hari. Mentari sebentar lagi kembali ke peraduannya dan berbagi cahayanya ke belahan dunia yang lain. Sandi dan Rizal berlari-lari kecil di pekarangan rumah dan mengganggu aktivitasku, mereka berlari mengelilingiku –tak lama. Kemudian mereka berlalu menuju rumah.
***

Malam hari ku lihat cahaya bulan pucat, tak seperti malam kemarin. Dari kamarku aku dapat melihat bulan secara langsung malalui jendela. Aku teringat akan pacar lamaku –Haris. Dulu aku sempat mengandung anak darinya dan tanpa ikatan pernikahan, hubungan kami tak direstui oleh kedua orang tuaku. Ibuku menyuruh untuk menggugurkan kandunganku, tapi aku tak mau. Hingga pada akhirnya aku tak pernah keluar rumah sampai bayi yang ada dalam perutku lahir, sedangkan Haris tak ada kabar lagi setelah ayahku mencacimakinya. Aku melahirkan anakku di rumahku sendiri, anakku berjenis kelamin perempuan. Setelah aku melahirkan, ibu tak mau melihat anakku bahkan meliriknya pun enggan.
Ibu memaksaku untuk menitipkan anakku ke panti asuhan, aku tak mau. Ibu mengancam jika aku tak menuruti keinginan ibu, aku tak akan diakui sebagai anaknya. Itu adalah pilihan terberat dalam hidupku. Maka dengan berat hati aku memberikan anak yang berada di pangkuanku kepada ibu. Beberapa bulan setelah kelahiran yang dirahasiakan itu aku pergi dari rumah. Bukan karena kabur, melainkan untuk mencari kerja. Itu juga atas kemauan ibuku, selain itu agar para tetangga tak curiga. Aku mendapatkan pekerjaan sebagai pembantu di Bogor, dimana tempat aku tinggal saat ini.
“okho…okho” sandi terbatuk. Aku tersadar dari lamunanku. Aku beranjak dari tempat dudukku dan mengambil selimut, kemudian ku selimuti tubuh mungil Sandi yang terlihat kedinginan.

Saat tanganku sampai pada dada Sandi, ku lihat sebuah kalung menggantung di lehernya. Kalung itu terbuat dari perak, liontinnya berbentuk hati dengan huruf R dan H di tengahnya. Sepertinya aku pernah melihat kalung itu. Aku menyentuh kalung itu dan ku balikkan liontinnya. Tertera dua nama, Rahma dan Haris –itu adalah namaku dan nama pacarku. Aku tersentak kaget, dulu kalung itu ku kenakan di leher anakku, tapi bagaimana mungkin kalung itu berada di leher Sandi? Sangat mustahil, Sandi adalah seorang laki-laki sedangkan anakku adalah seorang perempuan.
Ku lihat jam di dinding kamarku menunjukkan angka 12. Sebelumnya tak pernah aku tidur selarut ini. Aku akan tanyakan kepada Sandi soal kalung itu besok. Aku merebahkan badanku di sebelah Sandi dan tak berapa lama kamudian aku terlelap.
***

Pukul 4.30 aku terbangun dari tidurku yang ku lalui tanpa mimpi. Aku bergegas menuju kamar mandi untuk mandi dan mengambil air wudhu kemudian bersembahyang. Usai sembahyang ku lihat wajah belia Sandi, hatiku miris melihatnya anak seusianya seharusnya tak mengadu nasib untuk bertahan hidup sendiri. Seharusnya ia bersekolah layaknya anak-anak yang lain.
Aku membereskan kamarku dan menuju dapur untuk menyiapkan sarapan pagi, saat aku sedang memasak rupanya Sandi sudah terbangun. Aku teringat akan kalung yang menggantung di lehernya.
“San, boleh ibu bertanya sesuatu?” ku buka pembicaraan itu dengan satu pertanyaan.
Sandi menganggukkan kepalanya.
“dari mana kamu mendapatkan kalung itu?” tanyaku penasaran.
“oh ini bu?” ia memegang kalung yang menggantung di lehernya.
“ini adalah kalung yang diberikan adik saya sewaktu di panti asuhan dulu” Sandi menjelaskan.

Aku tersentak kaget, bibirku bergerak menceritakan asal usul kalung itu, Sandi mendengarkan dengan seksama, hatiku seolah mendapat pencerahan dari jawaban yang dilontarkan Sandi. Pikiranku melayang entah kemana, aku memasak dengan hati pilu, gembira, sesak oleh kerinduan, cemas, harapan. Semuanya berkumpul di satu titik, di hati.
Saat sarapan pagi aku menceritakan semua kejadian yang aku alami pada bu Mirna, termasuk aku yang pernah mempunyai anak dan kejadian tadi malam yang membuat asaku meninggi luar biasa untuk menemui anakku. Aku meminta ijin untuk pergi selama seminggu mencari anakku ke panti Malang itu. Bu Mirna mengijinkan, tetapi aku harus kembali ke rumah ini lagi.
Siang hari aku menuju stasiun kereta api untuk pergi ke panti Malang bersama Sandi. Aku berangkat dengan tergesa-gesa, membayangkan pertemuanku dengan anak yang hanya sekali ku gendong itu, dengan anak yang tak pernah ku beri ASI, dengan anak yang selalu ku impikan untuk bertemu dengannya.
***

Sampai di depan panti Malang Sandi berlari menuju pintu.
“Ibu, ibu, bu asih” ia menggedor-gedor pintu sambil menyebut nama seseorang. Mungkin orang yang dipanggilnya adalah pemilik panti itu.
Pintu terbuka, seorang anak kecil yang tubuhnya tak lebih tinggi dari Sandi berdiri di depannya, matanya berbinar, mata itu berwarna coklat, seperti mata Haris. Rambutnya hitam legam dengan panjang sepunggung.

“kak Sandi” gadis cilik itu memanggil nama Sandi kemudian memeluknya.
“kak, siapa ibu itu? Ibu kakak?” tanyanya heran.
Sandi memegang kalung yang tergantung di lehernya kamudian ia membalikkan liontinnya.
“sekarang dek Fifi sudah bisa membaca kan?” Tanya Sandi. Gadis cilik yang bernama Fitri itu mengangguk.
“coba baca!” Sandi menyuruh gadis itu membaca tulisan yang berada di liontin yang ia pakai.

“Rahma dan haris” ucap gadis itu. Air mataku meleleh, aku tau bahwa gadis kecil itu adalah anakku.
“nah ibu yang bersama kakak ini adalah bu Rahma, pemilik kalung ini, dia adalah ibu adek” Sandi menjelaskan.
Fitri memandang wajahku, aku berjongkok untuk memeluknya. Fitri meraih tanganku, aku lekatkan tubuhku pada tubuh mungilnya. Ini adalah kedua kalinya aku memeluk anakku tercinta.

“Ibu, fifi kangen” racaunya, bibirku tak bisa mengeluarkan kata-kata, hatiku sungguh senang tak terkira, rindu yang selama ini membelanggu kakiku telah terlepas, terlepas oleh satu pertemuan dengan pemuda cilik yang kemudian mengantarkanku kepada orang yang paling ku tunggu. Anakku.