Oleh : Agus noor
Kuceritakan apa yang kulihat. Tapi kalian mengatakan aku dusta,
karena aku buta. Aku memang tak punya mata. Namun berapa kali mesti
kukatakan pada kalian, betapa aku bisa melihat langit yang hijau lembut
dan halus seperti permukaan agar-agar. Aku bisa melihat pepohonan yang
ungu, daun-daunnya yang kemerahan, butiran hujan yang bening keemasan
hingga segalanya jadi tampak megah bekilauan setiap kali ia ditumpahkan.
Bisa kulihat hamparan rumput yang biru bagai beludru, gugusan awan
merah muda, bayang-bayang yang putih dan memanjang, juga angin yang
pucat kelabu. Aku bahkan bisa menyentuhnya dengan ujung-ujung jemariku,
seperti menyentuh kelembutan sutra yang berkibaran. Aku bisa melihat
segala yang tidak mampu kau pandang dengan sepasang matamu.
Baiklah, untuk kesekian kali, kuceritakan pada kalian apa yang kusaksikan.
Aku melihatnya di pinggir jalan itu. Seperti malam-malam sebelumnya,
ia selalu muncul dengan gaun yang mengundang, kakinya jenjang, berdiri
menunggu seseorang datang, dan kau menyebutnya pelacur. Saat pertama
kali melihatnya, aku langsung tahu. Namanya Mawar. 28 tahun lebih enam
hari. Dia lahir saat hujan turun begitu lebat jam sembilan pagi. Sebulan
setelah melahirkannya, ibunya gila karena guna-guna istri muda simpanan
suaminya. Aku melihat garis pedih dan hitam. Aku bisa melihat semua
yang hendak disembunyikannya. Bilur jejak luka di tubuhnya, dua anaknya
yang sakit-sakitan di rumah petak kontrakannya di pinggiran kota sana,
masa lalunya yang penuh kesedihan, suaminya yang minggat, dua tahi lalat
kecil di punggungnya. Sungguh, tak ada yang tak terlihat olehku yang
buta. Juga hari paling nestapa dalam hidupnya yang bakal tiba. Itulah
sebabnya aku menyukainya sejak pertama. Ia seperti dikutuk
kecantikannya. Kuceritakan penglihatanku. Tapi ia hanya tertawa.
”Kenapa mesti takut? Berkali-kali aku kena garuk. Aku tahu bagaimana
caranya mengatasi,” katanya. ”Aku cuman perlu memberi sedikit kesenangan
pada para petugas itu.”
Ia sebenarnya tak terlalu suka bicara. Sementara para pelacur lain
berkeliaran sambil cekikikan genit setiap ada laki-laki muncul, ia
memilih menyendiri. Kadang tampak ganjil juga melihat sosoknya di
jalanan merah remang ini. Tapi itu membuatku jadi bisa sering
mengajaknya bercakap. Pernah ia cerita tentang pelacur tua yang matanya
menjadi buta karena rajasinga.
”Dan kamu, kenapa buta?” Ia sayu menatapku.
”Aku tak buta. Aku memang memilih tak punya mata.”
Lalu aku pun bercerita padanya.
Ketika sepasang malaikat membawa ruhku turun dari langit, mereka
bergantian membisikkan nasib yang akan kujalani. Kemudian ditiupkan
ruhku pada rahim perempuan yang akan menjadi ibuku. Seperti tanah liat
yang mulai terbentuk, disematkannya tangan dan kaki pada tubuhku,
diberinya aku degup jantung. Aku senang sekali ketika sepasang malaikat
itu mulai memberiku telinga mulut dan hidung. Kemudian ditunjukkan
padaku sepasang mata yang indah, dan berkata, ”Mata ini akan membuatmu
jelita. Tapi kau akan menderita karenanya.”
Lalu kukatakan pada malaikat itu, ”Biarlah aku tak punya mata saja.”
”Bila kau tak punya mata, kau akan melihat banyak rahasia.”
”Kalau begitu, buat apa aku punya mata, bila aku bisa melihat tanpanya?”
Lalu mereka menyimpan sepasang mata itu.
”Baiklah, kami akan menaruh matamu ini di surga. Kelak, kamu bisa kembali mengambilnya.”
Tentu, kau bisa menduga, ketika aku lahir dan menatap dunia,
perempuan itu langsung meraung ketika tahu anaknya tak punya mata. Ia
begitu membenciku, dan tak pernah mau menatapku. Ia membuangku. Aku
bahkan tak pernah tahu namanya. Seorang pemulung menemukanku di tempat
pembuangan sampah, kemudian menjualku pada seseorang yang menampung para
pengemis. Melihatku yang tak punya mata, ia seperti menemukan barang
langka paling berharga. ”Anak ini akan membuat ibu siapa pun yang
menatapnya. Anak ini akan membuat orang tak sungkan-sungkan melemparkan
receh mereka.” Di rumah itu tinggal banyak anak-anak yang bagai barang
rongsokan. Seorang anak kedua kakinya pengkor. Seorang anak tampak
begitu idiot dengan air liur kental bacin yang terus berleleran. Ada
yang bongkok. Ada yang gagu. Jileng. Perot. Digerogoti kusta. Bahkan
seorang bocah yang tampak manis sengaja diiris telinganya dan dibiarkan
jadi borok agar terlihat menyedihkan. Tentu, aku menjadi yang paling
menyedihkan di antara mereka, dan karenanya bisa menghasilkan banyak
uang setiap mengemis. Aku tahu, orang-orang lebih suka cepat-cepat
memberi uang recehan mereka dan bergegas pergi ketimbang berlama-lama
bersitatap denganku. Siapa yang tahan memandang wajah dengan sepasang
liang hitam menganga?
Sengaja kubuka kelopak mataku, dan ia bergidik ngeri.
”Lihat, kau pun takut menatapku.”
Aku bisa memahami perasaannya. Seorang pelacur cantik duduk bersama
perempuan tua buta, kukira memang bukan pemandangan yang menyenangkan.
Ia bisa kehilangan pelanggan.
”Bukannya aku tak percaya. Tapi dengan apa kau melihat, kalau kau tak punya mata?”
”Aku melihat dengan mata yang tak kau punyai. Aku bisa melihat seekor
kelabang mendekam di balik batu itu. Aku bisa melihat suara kucing yang
mengeong di atap rumah ujung jalan itu. Pandanglah ujung gang yang
kelabu itu, aku bisa melihatnya mengembang dan mengerut seperti gumpalan
kabut. Aku bisa melihat kota ini seperti bola bekel raksasa yang
lembek, aku bisa menyentuhnya dengan tanganku, cahaya seperti lumer di
sela jariku. Aku bisa melihat menara jam di tengah kota bergumam muram
tengah malam, kemudian meliuk merunduk. Aku bisa melihat maneken-maneken
yang berkedip, menggeliat bosan terkurung etalase toko-toko sepanjang
jalan ini. Mereka seperti pelacur-pelacur kesepian yang menunggu
pelanggan dan sentuhan…”
Dia tertawa.
”Lihatlah, bahkan aku bisa melihat tawamu yang ungu kebiru-biruan memuai di udara.”
Ia kembali tertawa. Kutegaskan padanya, betapa setiap suara punya
warna yang berbeda-beda. Kau mendengar suara, aku bisa melihatnya. Ia
terus tertawa. Aku tahu ia mulai nyaman di dekatku. ”Kau menyenangkan.
Caramu bercerita membuatku tak tertalu kesepian,” katanya.
Sejak itu aku sering menemaninya. Ia suka setiap aku menceritakan
yang kulihat. Dunia yang kusaksikan membuatnya terpesona. Lalu kukatakan
apa yang bakal menimpanya. Ia memang tak menuduhku berdusta, tapi tak
percaya.
Aku ingat betul malam itu ia terlihat lebih sedih dan gelisah.
Barangkali ia pun merasakan firasat itu, tetapi tetap bersikeras tak
mempercayainya. Hujan yang biru pekat membuat jalanan menggigil, dan
angin yang buruk seperti kaleng rombeng yang bergerompyangan
menabrak-nabrak dinding. Lepas 3 dini hari. Sebagian pelacur telah
pergi. Ia berteduh di trotoar, rambutnya basah tertempias hujan. Di
pojokan toko, aku rebahan di tumpukan kardus memandangi bayangan takdir
paling getir. Aku seperti mendengar lecut petir, ketika kulihat beberapa
pelacur bergegas menyingkir. Mobil patroli yang mendadak muncul membuat
semuanya kocar-kacir. Ia pun hendak lari. Tetapi para petugas sudah
mengepungnya. Aku bisa melihat lelehan sisa arak di mulut
petugas-petugas itu. Aku tahu mereka barusan menenggak berbotol-botol
arak sebelum sampai ke sini. Arak yang memadamkan sepi dan membangkitkan
birahi. Itulah sebabnya mereka menjadi lebih beringas dari biasanya.
Aku melihat aroma pekat kecoklatan napas mereka ketika menyeringai
tertawa. Mungkin saat itu aku berteriak. Mungkin tidak. Semuanya
berlangsung begitu cepat. Seorang memukulku yang mencoba menolong Mawar.
Aku bahkan nyaris dicekiknya, tapi petugas yang lain segera berteriak,
”Biarkan! Dia cuma perempuan buta itu!”
Dan inilah yang kusaksikan malam itu:
Mereka menyeret Mawar yang terus meronta. Melemparkannya ke mobil
patroli. Membawanya pergi kemudian menyekapnya di gudang. Aku bisa
melihat semuanya dengan jelas. Begitu nyata dalam penglihatanku. Wajah
Mawar pucat, bibirnya bengkak kena pukul, seekor cicak kaget menyelusup
ke celah dinding, ketika Mawar menjerit. Mereka menyumpal mulutnya.
Memelorotkan pakaiannya dengan paksa, kemudian bergiliran memperkosanya.
Sunyi yang paling hitam membenamkan penglihatanku yang penuh kepedihan.
Isak tangis muram menyelubungi gudang itu, bercampur erang yang
terdengar bagai muncul dari binatang terluka. Lalu kusaksikan Mawar
mendadak bangkit menyerang sambil menjerit panjang. Ia hantam kepala
seorang pemerkosanya dengan lonjoran besi yang berhasil diraihnya. Ia
mengamuk dengan buas. Dihunjamkannya berkali-kali besi itu ke tubuh yang
terkapar…
Begitulah kejadiannya. Kuceritakan apa yang kusaksikan, tapi kalian
tak pernah percaya pada saksi mata yang buta. Padahal bukan aku yang
dusta, tapi mereka. Peristiwa pemerkosaan itu mereka tutup-tutupi dengan
pembunuhan itu. Mereka bilang mereka tengah patroli seperti biasa.
Mawar mereka bawa dan nasihati baik-baik ketika mendadak ia mengamuk.
Rupanya ia mabok berat. Di tasnya ada beberapa butir pil dan pisau
lipat—yang sengaja ditaruh petugas untuk menjebaknya. Ada bercak darah
di pisau itu. Dan selanjutnya kalian tahu sebagaimana diberitakan
koran-koran: dikatakan Mawar baru saja membunuh seorang pelanggan yang
tak membayarnya. Bahkan petugas bisa mengembangkan bukti, ternyata
dialah psikopat yang selama ini mereka cari. Ia pembunuh yang telah
memotong-motong delapan korbannya. Pelacur dan pembunuh. Itu alasan yang
cukup untuk menyeretnya ke tiang gantungan. Kalian seketika merasa
nyaman karena pembunuh misterius itu telah tertangkap. Dan kalian makin
merasa tenang karena kalian memang ingin melenyapkan maksiat dari kota.
Pelacur-pelacur mesti disingkirkan. Mereka selama ini membuatmu jengah
karena takut dengannya suami-suami dan anak laki-laki kalian berzina.
Segala yang cabul mesti dimusnahkah, karena begitulah menurut
undang-undang yang baru kalian sahkan. Maka kalian pun hanya diam ketika
Mawar diarak ke alun-alun kota, dicambuk dan dirajam, kemudian
digantung sebagai tontonan. Kusaksikan senja yang memar, burung gagak
merah berkaokan, dan angin yang muram berkesiur pelan membuat tubuh itu
terayun di tiang gantungan. Sampai malam.
Keesokan harinya kalian gempar. Mayat itu lenyap dari tiang gantungan!
Di pasar. Di kantor. Di ruang tunggu rumah sakit. Di warung dan kafe.
Di pangkalan ojek. Di seluruh kota. Orang-orang ramai membicarakan.
Sampai sekarang pun kalian masih terus kasuk-kusuk. Kalian kebingungan
ketika anak-anak kalian bertanya. Karena bagaimanapun tidaklah mungkin
mayat itu lenyap begitu saja. Siapa yang membawanya?
Baiklah, kuceritakan apa yang telah kusaksikan.
Setelah mayat itu digantung, kalian pun bubar. Sebagian kalian
tertunduk, seakan ingin menghapus bayangan buruk. Tapi kalian tak ingin
terus meneruh disesah kengerian karena saat itu hari Natal. Kalian mesti
ke gereja. Ada yang lebih kudus untuk dirayakan. Maka malam itu aku pun
menyaksikan langit kota yang dipenuhi nyanyian doa kalian. Hujan rinai
turun, malam mengelabu. Aku sendirian di alun-alun itu, memandangi tubuh
Mawar yang tergantung dalam bayangan cahaya murung. Kurasakan debu-debu
beterbangan diembus angin yang makin jekut ketika kesepian makin
membentangkan kelengangan yang menyayatkan keperihan bersama debu dan
dingin yang mulai membaluri kota sementara sisa gema lonceng bagai
melekat di udara yang makin menggigilkanku dalam kesedihan.
Saat itulah, ketika di gereja kalian memadahkan kidung agung Natal
penuh sukacita, aku tiba-tiba melihat seseorang muncul dari ketiadaan.
Ia berjalan mendekati tiang gantungan. Kalian pasti akan langsung tahu
siapa dia begitu melihat wajahnya yang bersih dan indah, seperti ada
cahaya mengitari kepalanya. Matanya seperti bintang bening. Senyumnya
seperti anggur lembut yang seketika bisa menghapus dahaga. Rambutnya
ikal dan panjang. Ia berjalan anggun, seperti seseorang yang berjalan
melintasi permukaan air, meski sesekali tampak limbung karena menahan
luka di lambungnya. Kulihat tangan dan kakinya berdarah. Kudengar ia
berseru, seperti memanggil nama pelacur itu.
Aku begitu terkesima menyaksikannya. Langit seakan tiba-tiba
benderang penuh cahaya keemasan yang cemerlang. Kulihat ia bersimpuh di
bawah tiang gantungan, dan mencium lembut kaki mayat yang tergantung
itu, kemudian menurunkannya. Saat itu aku melihat ribuan mawar mengapung
di udara menyerbakkan harum yang megah. Kudengar kalian masih
menyanyikan doa-doa dan pujian di gereja ketika laki-laki itu membawanya
pergi. Seperti pengantin membopong mempelainya.
Kuceritakan ini pada kalian, tapi kalian menuduhku pendusta.
Yogyakarta, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar